Minggu, 09 November 2008

DAMPAK BENCANA TSUNAMI

BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Bagi masyarakat Indonesia bencana tsunami sebenarnya bukan asing lagi. Dari tahun 1900 sampai 1996 setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia. Lima belas di antaranya terjadi di kawasan timur Indonesia yang memang dikenal sebagai daerah seismotektonik aktif dan kompleks. Gelombang tsunami yang menyebabkan kehilangan jiwa paling banyak tercatat sewaktu letusan gunung berapi Krakatau pada tahun 1883, dimana sebanyak 36.000 orang meninggal disebabkan letusan tersebut yang menghasilkan ombak setinggi 12 tingkat bangunan. Kebanyakannya disebabkan oleh ombak tsunami yang melanda perkampungan pesisiran pantai yang jauhnya 120 kilometer dari gunung berapi Krakatau di Selat Sunda. Kejadian paling akhir yaitu di Toli-Toli, 1 Januari 1996 dan Biak 17 Februari 1996, semakin mempertegas bahwa Indonesia memang merupakan daerah rawan tsunami. Namun bencana demi bencana seakan hanya sesuatu proses yang berlalu tanpa menyikapi secara antisipatif. Karena setelah bencana tersebut pemberitaan surat kabar lebih menekankan pada masalah penanganan korban dan bantuan sedangkan tindakan antisipatifnya sangat minim. Padahal pembahasan tentang tsunami sudah cukup banyak namun kebiasaan kita hanya sampai `teori` dan sikap `biasa saja` harus mulai dihentikan.

Seorang Dosen dan Kepala Laboratorium Seismotektonik di Jurusan Geofisika dan Meteorologi ITB, Nanang T Puspito pada tanggal 22 Februari 1996 pernah menulis di Harian Kompas tentang BENCANA TSUNAMI, RISET, DAN MITIGASI dimana salah satu tindakan yang perlu dilakukan yaitu, proteksi pada pantai. Di antaranya membuat jalur hijau 200 meter dari garis pantai yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang dan melestarikan keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. Tetapi kenapa kita masih belum punya konsep terobosan penanggulangannya secara riil. Dan kejadian di penghujung akhir tahun 2004 seakan akan menyadarkan kita bahwa Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus bertindak mencegah atau paling tidak bisa mengurangi akibat tsunami tersebut lebih besar lagi. Paling tidak jumlah korban yang mencapai 80.000 jiwa DI Aceh dan Sumatra Utara (kemungkinan korban masih akan bertambah dimana saat ini masih dalam pencarian dan bisa bertambah karena banyak korban yang terbawa arus laut) tidak terjadi lagi atau mencegah korban jiwa yang begitu besar.

Bencana yang sangat luarbiasa dan tidak bisa dibayangkan apabila terjadi di daerah padat penduduk seperti di pulau Jawa, apalagi pantai selatan Jawa Barat, Pantai Selatan Cilacap dan Pantai Selatan Jawa Timur termasuk daerah yang sangat rawan. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi kejadian tersebut, salah satu tindakan yang paling `sederhana` namun memerlukan jangka waktu yaitu penghijauan daerah rawan tsunami. Sebelum membahas mengenai apa hubungan antara tsunami dan penghijauan pantai laut serta pohon apa saja yang bisa digunakan untuk ditanam di daerah pantai, kita sebaiknya mengetahui terlebih
dahulu apa itu tsunami dan sekilas daerah-daerah rawan tsunami.

BAB 2

TUJUAN

Tujuan saya meneliti tentang bahaya tsunami adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak yang dihasilkan oleh tsunami terhadap daerah-daerah yang terkena bencana tsunami tersebut.

MANFAAT

1. Kita dapat mengetahui tentang bencana tsunami.
2. Dapat meminimalisasikan dampak tsunami.

ANALISIS

Analisis bahaya tsunami bertujuan untuk mengidentifikasi daerah yang akan terkena bahaya tsunami. Setidaknya ada dua metode untuk mengidentifikasi yaitu simulasi hubungan antara pembangkit tsunami dengan tinggi gelombang tsunami, dan memetakan hubungan sumber tsunami dengan terjadinya gelombang tsunami berdasar sejarah terjadinya tsunami, kemudian diidentifikasi dan dipetakan lokasi yang terkena damapak tsunami.

Analisis kerentanan bahaya tsunami bertujuan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya tsunami yang berupa jumlah korban jiwa, kerugian ekonomi, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang akibat kerusakan yang ditimbulkan. Analisis kerentanan ini didasarkan pada aspek kepadatan penduduk, tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat, keterbatasan akses transportasi, informasi, tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kerentanan terhadap bahaya tsunami. Sedangkan analisis ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk merespon terjadinya bencana tsunami sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis ini dapat diidentifikasi dari beberapa aspek, di antaranya jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan dan ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.

Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinannya terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.

Selain hal tersebut diatas perlu dipikirkan pula penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana. Pendekatan ini ditujukan untuk mengalokasikan atau memanfaatkan sumber daya dan daya dukung lingkungan suatu wilayah pesisir yang mencakup suatu kesatuan dalam perencanaan, penggunaan lahan atau peruntukan, pemeliharaan, kontrol, evaluasi, rehabilitasi, pembangunan dan konservasi lingkungan pesisir.

BAB 3

KESIMPULAN

Tsunami hakekatnya adalah gelombang laut raksasa. Oleh karena itu, kerusakan yang disebabkannya hanya terjadi di daerah pesisir yang dapat dijangkau oleh gelombang tersebut. Pada peristiwa tsunami yang dicetuskan oleh gempa bumi, kerusakan yang terjadi di suatu kawasan tidak hanya terjadi karena gelombang tsunami yang naik ke daratan, tetapi dapat juga terjadi kerusakan lain karena karena guncangan gempa. Hal itu karena tsunami berasosiasi dengan gempa bumi dicetuskan oleh gempa yang berkekuatan menengah sampai besar. Di Indonesia, selma periode 1901 sampai 2000, magnitude gempa bumi yang mencetuskan tsunami berkisar dari 5,0 sampai 8,6; diantaranya lebih dari 75% kejadian terjadi oleh gempa berkekuatan >6,0, dan 15% oleh yang berkekuatan <6,0.

Kerusakan yang terjadi di kawasan pesisir yang dilanda tsunami dapat berupa kerusakan pada bangunan di sepanjang pantai maupun kematian. Besarnya intensitas kerusakan di wilayah pesisir karena tsunami itu ditentukan oleh (1) posisi garis pantai terhadap sumber gelombang; (2) kondisi morfologi wilayah pesisir, dan (3) pola khusus bentuk datar dari pola morfologi. Pantai yang berhadapan langsung dengan sumber gelombang akan mengalami intensitas kerusakan yang lebh tinggi dibandingkan yang tida langsung. Kondisi morfologi yang menentukan intensitas kerusakan karena tsunami adalah kondisi morfologi dari daratan pesisir. Daratan pesisir yang rendah dan rata akan mengalami intensitas kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan daratan pesisir yang tinggi dan bertebing. Kehadiran tebing (sea cliff) di sepanjang pantai dapat menghambat gelombang tsunami naik ke daratan pantai dibelakangnya. Selain itu, pantai yang memiliki "coastal platform" (rataan depan pantai) atau vegetasi pelindung pantai, seperti jalur tumbuhan mangrove yang lebar, akan lebih terlindung dibandingkan pantai yang tidak memiliki kedua hal tersebut. Selanjutnya, yang dimaksud dengan pola morfologi datar khusus adalah pola-pola morfologi yang bentuk mendatarnya dapat mengarahkan gelombang pada arah tertentu sehingga dapat meningkatkan intensitas kerusakan oleh tsunami pada lokasi-lokasi tertentu. Seperti bentuk corong dari Teluk Korem atau teluk bermulut sempit di Pulau Banggai.
Sementara itu kerusakan bangunan karena tsunami selain ditentukan oleh besarnya kekuatan tsunami yang melanda, juga ditentukan oleh kondisi konstruksi bangunan itu sendiri. Amri (2002) mencatat bahwa kerusakan bangunan dipengarui oleh konstruksi bangunan yang tidak memadai secara teknik, kualitas bahan bangunan yang rendah, dan bangunan yang tua karena usia.

SARAN

Untuk meminimalisasikan dampak tsunami dapat dilakukan dengan mitigasi bencana tsunami struktural dan nonstruktural. Upaya struktural dalam menangani bencana tsunami adalah upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai. Mengingat tsunami menjalar secara frontal dengan arah tegak lurus bidang subduksi maka secara garis besar teluk-teluk dan pelabuhan-pelabuhan yang menghadang langsung ke zona subduksi dapat ditetapkan, dan trayek penjalaran tsunami ke teluk-teluk atau pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat diperkirakan.
Berdasarkan pemahaman mekanisme terjadinya tsunami, karakteristik gelombang tsunami, inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur akibat tsunami, upaya mitigasi bencana tsunami struktural dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
(i)Alami, seperti penanaman hutan mangrove/green belt di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang;
(ii)Buatan, seperti pembangunan pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan tsunami, memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya agar tahan terhadap tsunami.

Sehingga dalam menangani bencana tsunami dapat diupayakan dengan cara pelaksanaan mitigasi.

Pelaksanaan mitigasi bencana tsunami sendiri tidak lepas dari sejumlah kendala. Kendala tersebut disebabkan, pertama, kejadian tsunami di Indonesia pada umumnya adalah tsunami lokal yang terjadi sekitar 10-20 menit setelah terjadinya gempa bumi dirasakan masyarakat. Pada saat ini, sistem monitoring yang dimiliki Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memerlukan waktu 30 menit sampai 3 jam untuk menyelesaikan proses di atas.

Kedua, belum terintegrasinya sistem pengamatan dengan kondisi riil di lapangan disebabkan minimnya stasiun pengamatan yang ada. Ketiga, belum adanya mekanisme komunikasi antarstasiun pengamatan dan instansi terkait. Dan keempat, upaya penanganan kendala mitigasi akan efektif jika mekanisme komunikasi dan desiminasi hasil pemantauan terjadinya aktivitas gempa bumi, longsoran dasar laut, serta letusan gunung api bawah laut yang dapat memicu terjadinya tsunami dapat secara langsung diterima masyarakat.

Mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana tsunami DI Aceh dan disekitarnya, maka perlu segera dilakukan berbagai upaya secara menyeluruh tentang tsunami di Indonesia. Untuk mengantisipasi dampak bencana terutama tsunami dan berbagai permasalahan pesisir tersebut, perlu diupayakan suatu strategi dan kebijakan yang bersifat reaktif dan proaktif. Secara proaktif pemerintah juga menyusun kebijakan dan program jangka panjang yang bertujuan mengatasi permasalahn pesisir pulau-pulau kecil. Bentuk kebijakan ini antara lain pembuatan pedoman umum dan menyusun peraturan perundang-undangan yang didalamnya akan mengatur juga tentang bencana alam di wilayah pesisir.

Untuk itu dalam upaya meningkatkan upaya mitigasi pasca bencana tsunami tersebut, beberapa hal yang penting, untuk manjadi bahan pemikiran bersama untuk segera di tindaklanjuti, di antaranya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, penataan ruang di wilayah pesisir dan laut, building code bangunan, sistem perlindungan, serta early warning system, dan SAR. Dengan adanya sistem perlindungan yang memadai dan struktur yang kuat, building code bangunan yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan setempat, dampak kerusakan akibat tsunami akan dapat diminimalisasikan. Jika sistem peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem pengamatan terdiri dari beberapa proses sebelum statusnya menjadi peringatan, yaitu deteksi, perhitungan hypocenter, perkiraan tsunami, dan perkiraan resiko berjalan dengan baik, dampak korban jiwa dapat diminimasi sekecil mungkin.

BAB 4

PENUTUP

Dengan memanjatkan syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga pada pelaksanaan pembuatan proposal dapat berjalan dengan lancar walaupun ada beberapa hambatan. Kiranya selama dalam pelaksanaan kegiatan terdapat kesalahan-kesalahan yang kami sengaja ataupun tidak, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

- Atwater, Brian, F., et al, The Orphan Tsunami of 1700, United States Geological Survey & University of Washington Press, 2005
- -------, Countermeasure from a Tokai Earthquake, Numazu Japan, November 2006
- Diposantono, Subandono & Budiman, Tsunami, 2006, Penerbit Buku Ilmiah Populer, Bogor, Januari 2006
- Dudley, C. Walter, Tsunami, Universitas Hawaii Press, Honolulu, 1998
- Furumura, T., Theory of Seismic Wave, International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, Tsukuba, 2006
- Latief, Hamzah, et al, Tsunami Assesment Around The Sunda Strait, International Seminar on Tsunami in Memoriam 120 years of Krakatau Eruption, August 2003
- Okazaki, Flood Fighting in Japan, GRIPS, 2007
- Satake, Kenji, Earthquake and Tsunami, Geological Survey of Japan, National Institute of Advanced Industrial Science and Technology, International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, Tsukuba, 2006
- Shuto, N., Introduction of Tsunami Disaster Mitigation, International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, Tsukuba, 2006
- Subakti, Hendri, Indonesia Action Plan, IISEE & BMG, 2007
- Tsuji, Hydrodynamic of Tsunami, University of Tokyo, International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, 2007
- ------, Tsunami Force and Tsunami Resistant Structure, Port and Airport Research Institute, International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, Tsukuba, March 2007
- -------, Tsunami Measure of Numazu Port, Numazu Public Works Office Japan, November 2006
- -------, Tsunami, Intitute Teknologi Bandung, 2006
- -------, TSUNAMI Sesson Learnt from Japanese Story "Inamura No Hi", MERCY Malaysia, Asian Disaster Reduction Center Japan, 2004
- -------, NHK Broadcasting, Japan, 2007

Tidak ada komentar: